Televisi memang sudah sangat melekat dalam kehidupan kita sehari-hari, dari televisilah kita belajar tentang kehidupan dan budaya. Bagi kita yang memiliki kegemaran akan menonton televisi, entah itu sinetron, drama, komedi, horor, komedi, film animasi atau akrab disapa kartun dll pasti sudah tidak asing jika terdapat adegan yang terkena sensor atau blur hinggga terdapat adegan yang dipotong. Masih cukup segar dalam ingatan kita tentang adanya beberapa aksi sensor terhadap tayangan yang dinilai tidak patut dipertontonkan pada anak-anak, ya film animasi. Perlu diketahui bahwa “Sensor adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk menetukan dapat atau tidaknya sebuah film atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu (UU NO 08/1992, Pasal 1 Angka 4).
Contohnya salah satu film animasi yang banyak digandrungi
oleh anak-anak termasuk orang dewasa yaitu Naruto, Doraemon, Dragon Ball,
SpongeBob, dan lain sebagainya. Dimana dalam beberapa episode yang didalamnya
terdapat adegan berkelahi hinggga berdarah-darah diblur atau disensor
sedemikian rupa. Tidak hanya berhenti sampai disana saja, dua judul film kartun
yang pernah merasakan sensor ini adalah Spongebob dan Doraemon. Tokoh
Sandy yang digambarkan sebagai seekor tupai betina dalam kartun Spongebob
terkena sensor pada bagian dadanya karena dalam salah satu episodenya si tupai
betina Sandy tersebut hanya mengenakan bra.
Kemudian ada lagi karakter Shizuka dalam kartun Doraemon
diblur karena menggunakan pakaian renang. Bukan saja tentang etika berpakaian
ataupu adegan didalamnya, penyensoran ini juga berlaku dalam dialog antar
karakter, dimana beberapa kali ada kata yang tidak dihilangkan. Bukan saja
kartun, fenomena penyensoran juga dikecam ketika Sabtu 22 Februari 2016 saat
Indosiar menayangkan pemilihan Putri Indonesia 2016, yang berakhir dengan kontestan
dari Sulawesi Utara, Kezia Warouw, sebagai Puteri Indonesia 2016 yang akan
mewakili Indonesia di kontes Miss Universe 2016. Tapi ada yang lebih menarik
perhatian netizen dibandingkan dengan kemenangan Kezia. Indosiar melakukan
sensor atau blur pada area tubuh konstestan saat mengenakan kebaya.
Tidak sedikit netizen yang merasa heran akan perlakuan
sensor atau pemotongan adegan tertentu pada film-film kartun atau tayangan
lainnya tersebut. Adanya episode dalam kartun, film, acara televisi yang
disensor maupun dipotong tersebut mengundang beragam reaksi dari masyarakat di
media sosial yang didominasi dengan reaksi negatif yang mereka alamatkan pada
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Hal tersebut sangat disayangkan, sebagian besar dari mereka
membandingkan perlakuan KPI terhadap kartun, sinetron, atau FTV yang dirasa
pilih kasih. Dimana dalam tayangan sinetron ataupun FTV menurut mereka banyak
terdapat adegan diantaranya yang menampilkan aksi yang tidak baik untuk
dikonsumsi, seperti percintaan remaja, kenakalan, atau perilaku lainnya ini
malah didiamkan saja, sedangkan kartun disensor habis-habisan, jika KPI dapat
mempertanggungjawabkan kebijakan yang mereka buat, seharusnya sinetron atau FTV
juga dapat disensor dari awal hingga akhir. Selain itu, banyak juga
masyarakan sosial media yang menekankan bahwa peraturan yang tidak tepat
sasaran tersebut justru memicu kekecewaan bagi banyak kalangan.
Acara-acara seperti FTV atau sinetronlah yang seharusnya
mendapatkan porsi sensor yang lebih banyak daripada kartun, setidaknya sebagian
besar seperti itu opini mereka. Namun perlu diketahui lembaga yang dialamatkan
tersebut rupanya salah alamat, menanggapi lembaganya diposisikan sebagai pihak
yang salah di sini, Komisioner KPI Pusat Agatha Lily mengatakan bahwa
lembaganya tidak memiliki kebijakan untuk melakukan sensor terhadap program
kartun dan animasi, pihaknya juga tidak pernah meminta lembaga sensor untuk
mengaburkan adegan-adegan tertentu dalam film kartun.
Meski sensor atau pemotongan gambar dilakukan oleh lembaga sensor film, lanjut Agatha, lembaga penyiaran memiliki kewenangan untuk melakukan quality control (QC) berupa editing atau pengaburan (blur) jika ada yang dianggap tak layak tayang. Adapun mengenai kriteria gambar-gambar yang harus disensor, diantaranya jika dalam adegan tersebut terdapat gambar yang memperlihatkan bagian tubuh yang tidak pantas, khususnya perempuan dewasa. Selain itu, gambar kekerasan dan sadisme, seperti adegan pemukulan, menusuk, menendang, dan menembak hingga mengeluarkan darah. "Bahkan program dewasa saja darah enggak boleh, apalagi tayangan anak," kata Agatha (sumber : nasional.kompas.com).
Apapun itu pasti terdapat pengaruh positif dan ada pengaruh
negatif tak terkecuali tayangan dalam televisi, dalam mengantisipasi dan
meminimalisir pengaruh negatif tersebut dibentuklah suatu lembaga yang
bertanggung jawab yaitu lembaga sensor film yang mana dalam pembuatan film
terdapat ketentuan-ketentuan. Adapun sejarah dan definisi lembaga Sensor Film
sesuai dengan Undang-Undang No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang kemudian
disusul dengan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor
Film. Dengan jelas disebutkan yang dimaksud dengan Sensor Film adalah
penelitian dan penilaian terhadap film untuk menentukan dapat atau tidaknya
sebuah film dan reklame film dipertunjukkan dan atau ditayangkan kepada umum
baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu.
Penyensoran dilakukan dengan meneliti segi-segi, Keagamaan, Ideologi, Politik,
Sosial Budaya, Ketertiban Umum.
Pada dasarnya ada 2 tipe penonton
televisi, yaitu penonton kelas berat (heavy viewers) atau mereka yang
menonton televisi lebih dari 4 jam dalam sehari. Kemudian kelompok penonton
kelas biasa (light viewers), yaitu mereka yang menonton televisi 2 jam atau
kurang dalam seharinya (West & Turner, 2007). Dimana penonton kelas berat
ini cepat percaya dan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah
refleksi atau potret dunia nyata karena konsumsi mereka terhadap sebuah
tayangan yang begitu tinggi, jika penonton kelas berat ini anak-anak tak heran
mengapa banyak tayanagan yang disensor, dimodifikasi sedemikian rupa agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang kita ketahui bahwa,
tayangan-tayangan saat ini minim sarana edukasi malah sering menunjukkan kekerasan, perselingkuhan,
dan lain sebagainya. Aksi peniruan di antara manusia tidak disebabkan oleh
insting atau program biologis, peniruan tersebut merupakan hasil dari
satu proses belajar bukan bisa begitu saja karena insting (Miller &
Dollard, 1941)
Anak-anak yang menonton televisi tentang kekerasan,
pembunuhan, tanpa diawasi oleh orang tua, cenderung akan meniru adegan-adegan
tersebut ke dalam kehidupan nyata, mereka tentu berpikir apabila ia meniru
adegan-adegan tersebut, maka ia merasa akan sama seperti orang yang memerankan
adegan kekerasan atau pembunuhan tersebut dan karena itulah mengapa terdapat
beragam modifikasi agar konten-konten yang tidak diinginkan tersebut tidak
ditiru oleh anak-anak, maupun orang dewasa. Begitu pula halnya bagi anak yang
beranjak dewasa, yang menyaksikan tayangan yang memuat adegan yang dicap berbau
pornografi dapat mempengaruhi mereka karena adanya rangsangan emosional berupa
rangsangan seksual yang dapat meruntuhkan moralitas, mendorong orang untuk
melakukan seks dan pada akhirnya timbul aksi pemerkosaan, ataupun berhubungan
intim pra-nikah (Tan, 1981).
Film atau acara pada televisi sebagai media komunikasi massa berperan besar dalam membentuk pola pikir, pengembangan wawasan dan pendapat umum. Seharusnya program yang disajikan maupun para pelaku industri perlu memasukan nilai-nilai pendidikan sebagaimana terdapat dalam visi serta misi LSF. Sehingga penonton dapat menyaksikan program-program yang memiliki nilai-nilai pendidika mendapatkan pengaruh positif, tidak seperti tayangan baik animasi, sinetron, acara hiburan lainnya saat ini yang dirasa minim pembelajaran. Seandainya hal tersebut dapat terlaksana bukan hanya sekedar untuk mengejar rating mungkin aksi penyensensoran, adegan yang dipotong dan lain sebaginya tidak akan ada. Pengklasifikasi untuk mengurangi maupun menyudahi aksi sensor atau memodifikasi sedemikia rupa dapat diatasi dengan kesadaran kita serta lembaga terkait menetapkan aturan film yang ketat menurut klasifikasi usia anak, remaja, semua umur, dan dewasa.
Daftar
Pustaka
Rahmat,
Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya; Bandung,
2005
Mulyana,
Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya; Bandung,
2005
Effendy,
Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti;
Bakti
Bandung, 2000
West,
Richard & Turner H. Lynn. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan
Aplikasi. Jakarta. Salemba Humanika; Jakarta, 2008
McQuail,
Dennis. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Erlangga; Jakarta 1997.
Winarto,
Joko. 2011. Teori Belajar Sosial Albert Bandura. Tersedia pada http://edukasi.kompasiana.com (diakses tanggal 19
Mei 2016).
Undang-Undang
Republik Indonesia No.8 Tahun 1992 Tentang Perfilman. Tersedia pada http://www.kpi.go.id (diakses tanggal 20 Mei 2016).
Vidhih Uttamam Anugrahita
130905121
0 komentar:
Posting Komentar