Ketika VCD pertama kali muncul, orang berpikir bahwa masa kejayaan bioskop sudah berakhir. Mengapa? Karena saat itu, orang dengan bebas dapat menonton film favoritnya tanpa harus mendatangi bioskop. Cukup beli VCD, legal maupun ilegal; Buatlah popcorn untuk teman nonton, ajak teman dan keluarga, duduk, putar, and enjoy the show.
Putar-saat-diinginkan, media-on-demand.
Simbol kekayaan: VCD player |
Bayangkan, nikmatnya menonton film favorit tanpa harus berdesak-desakan di bioskop. Tanpa harus mengantri tiket untuk menonton, mengantri untuk membeli makanan kecil, mengantri ke toilet, mengantri masuk auditorium, mengantri duduk, mengantri keluar, mengantri parkir, dan mengantri, mengantri, mengantri...
Perangkat pemutar VCD menjadi simbol kekayaan pada masa itu. Ada rasa kebanggaan diri ketika mempunyai pemutar VCD dan bisa menonton sesuka hati di kenyamanan sofa masing-masing. Bahkan, tetangga pun ikut-ikut nonton, teman juga ikut nonton, keluarga besar juga, dan pemutar VCD menjadi pemutar VCD bersama. Memutar VCD bersama, menonton bersama, hingga rusak.
Rusak, bubar bersama-sama. Mundur teratur. Pemiliknya jongkok teratur.
Bingung.
Lalu, muncullah DVD yang memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada VCD. Mulai, giliran VCD yang tumbang selanjutnya karena potensi DVD yang jauh lebih baik dibandingkan VCD. Tuntutan penonton untuk kualitas gambar meningkat, terus meningkat. Ketika dulu VCD menyuguhkan resolusi yang rendah, penonton manggut-manggut saja nonton, toh yang penting jalan. Kemudian, resolusi rendah jadi bahan tertawaan dan dianggap merusak kualitas film itu sendiri.
Generasi doyan TV diberikan kemudahan untuk menonton film dalam resolusi tinggi |
TV setajam
TV hemat energi (dimatikan),
TV berkemampuan wireless yang bisa dikendalikan jarak jauh (dicintai pembajak remote TV)
Pemutar DVD yang bisa memutar film sendiri tanpa dikomando (saat lagi makan malam keluarga, tiba-tiba film
dan lain-lain.
Di era yang serba digital ini, internet (lagi-lagi) memegang peranan penting dalam persebaran media-on-demand. Kejayaan internet ini melahirkan paling tidak dua anak yang dicintai pengguna internet yang senang menonton film dan mendengarkan musik tapi dibenci pengguna internet berkuota: Netflix (stream film) dan Spotify (stream musik). Nah, muncullah kosa kata baru di sini: stream.
Stream secara harafiah artinya mengalir, atau aliran. Dalam konteks di sini, stream artinya "mengalirkan" media dari sumbernya ke titik-titik tertentu yaitu penonton. Netflix atau Spotify sebagai sumber media mengalirkan media kepada pendengar atau penontonnya melalui suatu kanal yaitu situs dan aplikasi yang mereka buat bagi penonton.
Hanya bermodalkan gadget dan internet, pengguna dapat mendengarkan musik atau menonton film di mana saja, tanpa harus mengunduh atau membeli sesuatu (khusus Netflix, membayar biaya langganan tahunan). Film atau musik pun tinggal pilih, atau khusus Spotify pendengar tak perlu repot-repot memilih lagu karena telah tersedia playlist untuk langsung didengar berdasarkan tema playlist tersebut. Media-on-demand, made simpler and easier.
Apakah kematian bioskop merupakan hal yang nyata? Tergantung.
Media-on-demand memiliki pasarnya sendiri, sama halnya dengan bioskop.
Ada hal yang dimiliki oleh media-on-demand namun tidak dimiliki bioskop dan sebaliknya: dimiliki bioskop namun tidak dimiliki oleh media-on-demand. Apakah itu?
Ya, sistem suara.
Sistem suara bioskop menurut saya pribadi belum dapat ditandingi secara umum oleh media-on-demand. Tentu ada orang yang memasang sistem suara yang hampir menyamai bioskop dengan embel-embel Dolby Atmos atau Surround 7.1, tapi tata letak suara dan ruangan merupakan kombinasi mematikan bagi bioskop untuk memberikan presentasi suara terbaik. Oleh karena itu, saya cenderung menonton film laga di bioskop untuk dapat memanfaatkan fasilitas suara bioskop sepenuhnya.
Media-on-demand menawarkan kelebihan yang fatal bagi bioskop, tapi bioskop pun memiliki fatal blow bagi media-on-demand untuk terus eksis di dunia media hiburan.
Ah, mungkin lebih baik ku mulai hari dengan mendengarkan satu-dua playlist di Spotify.
Samuel Putra W.
150905835
0 komentar:
Posting Komentar