LSF alias
Lembaga Sensor Film Indonesia kecolongan, berulang kali kecolongan. Tapi,
kecolongan LSF akhir-akhir ini menjadi bahan perbincangan di dunia maya
terutama di kalangan keluarga yang memiliki anak-anak yang masih kecil. Ketika
orang tua sibuk dengan usahanya untuk memberi pendidikan yang baik melalui
tontonan yang menghibur namun tetap mengandung konten edukatif di dalamnya,
mereka tidak menyadari bahwa bukan hanya LSF yang kecolongan: mereka juga
kecolongan.
Deadpool adalah
film superhero yang dibintangi oleh
Ryan Reynolds sebagai aktor utama yang diadaptasi dari komik Marvel mengenai
seorang mantan pasukan khusus atau tentara bayaran bernama Wade Wilson yang
sekarat karena kanker. Ia memutuskan menyerahkan dirinya pada percobaan
perubahan genetik dengan menggunakan senjata X. Percobaan itulah yang kemudian
mengubahnya menjadi seorang antihero (Kompas, 2016). Adegan pertarungan memang merupakan sebuah klise dalam film superhero, namun
Deadpool menaikkan takaran pertarungannya dengan berbagai kekerasan yang
membuat penonton khususnya anak-anak kecil bergidik ketakutan. Film ini rilis di Indonesia pada tanggal 10
Februari 2016.
Perilisan film Deadpool menyebabkan netizen yang berkeluarga apalagi memiliki anak kecil memberikan satu lagi cap blunder kepada LSF Indonesia. Karena, ekspektasi penonton yang terhadap Deadpool adalah just another superhero film which is packed with action and fun. Memang, film Deadpool adalah superhero film which is packed with action and fun, namun dengan action yang berlebihan dan fun bagi anak muda namun horor bagi orang tua dan anak kecil (walau mungkin ada beberapa anak kecil yang malah menikmati fun jenis seperti ini). Film ini memenuhi ekspektasi penonton, melebihi ekspektasi penonton, bahkan dengan bonus-bonus yang mengejutkan. Sama mengejutkannya seperti anak kecil yang mendapatkan kondom di hadiah ulang tahunnya walau sebenarnya ia mengharapkan airsoft gun sebagai hadiah ulang tahunnya. Tidak senonoh memang, tapi mungkin seperti itu gambaran humor yang disajikan dalam film Deadpool.
Perilisan film Deadpool menyebabkan netizen yang berkeluarga apalagi memiliki anak kecil memberikan satu lagi cap blunder kepada LSF Indonesia. Karena, ekspektasi penonton yang terhadap Deadpool adalah just another superhero film which is packed with action and fun. Memang, film Deadpool adalah superhero film which is packed with action and fun, namun dengan action yang berlebihan dan fun bagi anak muda namun horor bagi orang tua dan anak kecil (walau mungkin ada beberapa anak kecil yang malah menikmati fun jenis seperti ini). Film ini memenuhi ekspektasi penonton, melebihi ekspektasi penonton, bahkan dengan bonus-bonus yang mengejutkan. Sama mengejutkannya seperti anak kecil yang mendapatkan kondom di hadiah ulang tahunnya walau sebenarnya ia mengharapkan airsoft gun sebagai hadiah ulang tahunnya. Tidak senonoh memang, tapi mungkin seperti itu gambaran humor yang disajikan dalam film Deadpool.
Humor yang tidak
senonoh, adegan-adegan kekerasan yang berdarah-darah namun membuat penonton
harus mengantri sampai berdarah-darah hanya untuk menonton sebuah “penyiksaan
batin” bagi orang tua yang hatinya hancur karena membiarkan buah hatinya
dihibur dengan adegan-adegan yang luar biasa [hancur]. Barisan sakit hati yang
terdiri atas orang tua inilah yang banyak memprotes perilisan dan pemutaran
film Deadpool. Karena, LSF dinilai lalai untuk melakukan penyuntingan yang
cukup untuk film Deadpool agar layak ditonton anak-anak dan penonton umum,
bahkan merasa film seperti ini tidak boleh lulus sensor sehingga tak seharusnya
ditayangkan. Ini salah LSF, ini salah LSF, ini salah LSF! Benarkah? Ya dan
tidak.
Film di
Indonesia memiliki klasifikasi-klasifikasi usia yang diperbolehkan untuk menonton
sesuai dengan kecocokan konten dengan umur. (LSF, 2014)
Yang pertama
adalah SU (Semua Umur) yang artinya semua segmen usia boleh menonton tayangan
tersebut dengan konten-konten yang umum dan bisa dikonsumsi secara normal.
Kedua adalah 13+
(Usia 13 Tahun ke Atas) atau BO (Bimbingan Orang Tua) yang menandakan bahwa
tayangan tersebut secara umum layak untuk dikonsumsi semua segmen usia, namun
anak-anak yang belum cukup umur harus dibimbing atau dipantau oleh orang tua
selama penayangan berlangsung karena tayangan tersebut mengandung beberapa
konten yang mungkin tak sesuai dengan segmen usia anak-anak berusia di bawah 13
tahun.
Ketiga adalah 17+
(Usia 17 Tahun ke Atas) atau R (Remaja) yang membatasi penayangan kepada
penonton berusia di atas 17 tahun saja karena adegan-adegan yang tidak senonoh
dan kekerasan mulai muncul secara terang-terangan. Penonton di bawah 17 tahun
dilarang untuk menonton film ini. Deadpool termasuk dalam kategori ini.
Keempat adalah
21+ (Usia 21 Tahun ke Atas) atau D (Dewasa) yang diberikan untuk tayangan-tayangan yang secara
terbuka menampilkan adegan-adegan sugestif seksual, kekerasan, diskredit
individu maupun kelompok dengan kadar di bawah 50%. Kategori ini adalah
kategori tertinggi yang diberikan LSF, tayangan yang melebihi kategori ini
tidak akan lulus sensor LSF.
LSF
sendiri sudah menyatakan bahwa Deadpool termasuk dalam rating Dewasa, sehingga
penonton di bawah usia 17 tahun benar-benar tidak cocok untuk menonton film
Deadpool. Justru, LSF mempertanyakan balik mengapa keluarga malah mengajak
anak-anaknya untuk menonton film Dewasa. Jelas-jelas, film yang memiliki rating
Dewasa akan mengandung konten-konten yang tidak layak juga untuk anak-anak,
tanpa memandang jenis apakah film tersebut baik film superhero ataupun film
laga. LSF tak bisa terus-terusan melakukan kontrol terhadap penayangan karena
kontrol penonton ada di luar kewenangan LSF, kontrol haruslah dilakukan oleh
distributor dan penonton sendiri. Siapakah distributornya? Bioskop.
Sebagai
lini depan distribusi film kepada masyarakat, seharusnya bioskop mampu menjadi
penyaring bagi anak-anak yang hendak menonton film. Mengesampingkan pendapatan,
moral pun menjadi hal penting yang harus kita benar-benar perhatikan apalagi
bagi perkembangan anak kecil yang unyu-unyu kinyis. Tentu, film superhero sering
menjadi film terpopuler di bioskop karena banyak penggemarnya baik dari
kalangan anak-anak yang bermimpi menjadi Superman walau takut ketinggian hingga
orang tua yang ingin menonton Wonder Woman karena tak ingin terlewat jadwal
cuci mata. Kepopuleran film laga terutama film bertema superhero ini layak
dijadikan mesin uang bagi bioskop dan tiket pun ludes, asal ludes, entah siapa
yang menonton. Padahal, sudah saatnya bioskop berani menolak anak-anak untuk
menonton film dewasa walau memang terdengar atau terlihat asyik.
Penyaring
yang lain juga datang dari diri sendiri. Bagusnya, keluarga yang hendak
menonton sebuah film harus mengulik dengan jelas seluk-beluk mengenai film
tersebut, walau tidak perlu sampai hafal dialognya atau tahu berapa biaya
produksinya. Kenali filmnya dan rating film tersebut, apakah sesuai untuk
anak-anak anda? Don’t misinformed, people. Fatal akibatnya. Entah apa yang akan
terjadi jika orang tua yang tidak tahu mengajak anaknya menonton film American
Pie karena dikira film tersebut bercerita mengenai dunia kuliner atau Fifty
Shades of Grey karena judulnya yang keren. JANGAN!
Kompas. (2016, Februari 6). Dilarang tayang di China, "Deadpool" meradang. <http://entertainment.kompas.com/read/2016/02/06/113512210
/Dilarang.Tayang.di.China.Deadpool.Meradang>
LSF. (2014). Kutipan dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 18 tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film. <http://lsf.go.id/peraturan>
Kompas. (2016, Februari 6). Dilarang tayang di China, "Deadpool" meradang. <http://entertainment.kompas.com/read/2016/02/06/113512210
/Dilarang.Tayang.di.China.Deadpool.Meradang>
LSF. (2014). Kutipan dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 18 tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film. <http://lsf.go.id/peraturan>
Samuel Putra W.
150905835
150905835
0 komentar:
Posting Komentar